, ,

Dalam Tuntutan Kesetaraan, FGSNI Suarakan Hak Guru Swasta untuk Ikut Seleksi P3K

by -387 Views
cek disini

NFO TERKINI: Tuntut Kesetaraan, FGSNI Suarakan Jeritan Hati Guru Swasta di Pintu Seleksi P3K

News Airmadidi– Dalam panggung besar pendidikan Indonesia, guru-guru swasta adalah tulang punggung yang seringkali tak terlihat. Mereka mengabdi dengan penuh dedikasi, mencetak generasi penerus bangsa, namun kerap terpinggirkan dalam kebijakan rekrutmen negara. Isu kesenjangan antara guru negeri dan swasta kembali mencuat, kali ini disuarakan dengan lantang oleh Forum Guru Sertifikasi Nasional (FGSNI) yang menuntut keadilan dalam seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) Guru.

Pilar Pendidikan yang Terlupakan: Kontribusi Besar Guru Swasta

Data berbicara nyata. Hampir 49% sekolah di Indonesia dikelola oleh yayasan swasta. Jutaan guru mengabdi di dalamnya, menjadi ujung tombak pendidikan bagi puluhan juta siswa. Tanpa peran aktif mereka, target pemerataan pendidikan dan penuntasan buta aksara mustahil tercapai. Mereka mengajar dengan kompetensi yang setara, seringkali dengan beban kerja yang sama, bahkan lebih, dibandingkan rekan mereka di sekolah negeri.

Dalam Tuntutan Kesetaraan, FGSNI Suarakan Hak Guru Swasta untuk Ikut Seleksi P3K
Dalam Tuntutan Kesetaraan, FGSNI Suarakan Hak Guru Swasta untuk Ikut Seleksi P3K

Baca Juga: Kejari Minut Tingkatkan Status Dugaan Korupsi Dana Desa Laikit ke Penyidikan, Segini Potensi Kerugian Negara

Namun, di balik kontribusi besarnya, nasib mereka kerap tak menentu. Gaji jauh di bawah Upah Minimum Regional (UMR), minimnya jaminan sosial, dan ketiadaan kepastian jenjang karier adalah realitas pahit yang sehari-hari mereka hadapi. Program P3K yang digulirkan pemerintah sejak 2021 seharusnya menjadi angin segar, tetapi bagi banyak guru swasta, program itu justru menjadi pengingat akan ketidakadilan yang sistemik.

P3K: Harapan yang Pupus di Tangan Regulasi yang Timpang

Sejak awal implementasinya, program P3K Guru dinilai oleh FGSNI telah memarjinalkan guru swasta. Ketua Umum FGSNI, Agus Mukhtar, dalam pernyataannya pada Kamis, 18 September 2025, menyatakan dengan tegas bahwa regulasi dan kebijakan selama ini lebih berpihak pada guru honorer yang mengajar di sekolah negeri.

“Teman-teman guru di sekolah swasta hanya bisa menyaksikan bagaimana guru honorer negeri diangkat menjadi ASN PPPK. Kontribusi guru swasta kurang mendapat perhatian,” ujar Agus.

Setiap tahun, pemerintah mengumumkan kuota formasi yang besar untuk guru honorer di sekolah negeri. Sementara itu, guru swasta yang telah mengantongi sertifikat pendidik, memiliki pengalaman mengajar puluhan tahun, dan memenuhi kualifikasi akademik, hanya bisa gigit jari. Mereka terhalang oleh tembok regulasi yang tidak mengakomodir mereka sebagai peserta seleksi.

“Sudah empat tahun hanya jadi penonton. Padahal sejak awal implementasi program P3K, guru-guru swasta menunggu mendapatkan kesempatan yang setara,” lanjut Agus dengan nada kecewa.

Tiga Tuntutan Inti FGSNI: Menuju Keadilan yang Substansial

Berdasarkan fakta-fakta yang memilukan tersebut, FGSNI menyampaikan tiga aspirasi pokok yang menjadi suara kolektif jutaan guru swasta Indonesia:

  1. Pengakuan Formal Kesetaraan Hak. FGSNI mendesak pemerintah untuk secara formal mengakui bahwa guru swasta memiliki hak yang sama dengan guru negeri dalam mengikuti seleksi P3K. Pengakuan ini harus diwujudkan dalam bentuk regulasi yang inklusif, tidak diskriminatif, dan memandang guru berdasarkan kompetensi, bukan status sekolah tempatnya mengabdi.

  2. Kebijakan Teknis dan Kuota Khusus. Penerbitan kebijakan teknis yang membuka kuota khusus atau mekanisme yang adil untuk guru swasta mutlak diperlukan. Hal ini untuk mengkompensasi ketertinggalan mereka selama empat tahun terakhir dan memastikan mereka memiliki peluang yang nyata untuk bersaing.

  3. ​​Jaminan Keberlanjutan Karier. Bagi guru swasta yang berhasil lolos seleksi, harus ada jaminan kepastian status. Mereka tidak boleh hanya ditempatkan sementara tanpa kejelasan. FGSNI menuntut jaminan bahwa mereka akan menikmati hak yang sama, termasuk gaji, tunjangan, dan jenjang karier, layaknya ASN P3K lainnya.

Redistribusi Guru Bukanlah Jawaban: Menyentuh Akar Masalah

Pemerintah sebenarnya telah mengeluarkan Permendikbudristek Nomor 1 Tahun 2025 tentang Redistribusi Guru ASN ke satuan pendidikan yang dikelola masyarakat. Regulasi ini memungkinkan guru ASN P3K ditempatkan di sekolah swasta untuk mengatasi masalah kekurangan guru.

Namun, Agus Mukhtar mengkritik bahwa kebijakan ini justru meleset dari akar persoalan. “Redistribusi hanya mengatur penempatan, bukan akses dan kesempatan,” kritiknya. Alih-alih membuka akses bagi guru swasta yang sudah ada untuk menjadi ASN, kebijakan ini justru ‘mengimpor’ guru ASN dari luar, yang mungkin tidak memahami kultur dan kondisi sekolah swasta tersebut. Masalah akses seleksi bagi guru swasta sendiri tetap tidak terselesaikan.

Lebih parah lagi, Agus mengungkapkan keluhan pilu sejumlah guru swasta yang sebenarnya telah lulus passing grade tes P3K pada tahun-tahun sebelumnya. “Mereka mengeluhkan SK yang tak kunjung terbit, sehingga mereka tetap tidak menikmati gaji dan tunjangan sebagai P3K,” jelasnya. Ini menunjukkan bahwa masalahnya tidak hanya pada akses seleksi, tetapi juga pada konsistensi implementasi dan pemenuhan hak setelah lulus.

Luka dan Harapan: Suara Guru Swasta dari Lapangan

Di balik data dan regulasi, ada cerita-cerita manusiawi yang menyentuh hati. Khaldzik, seorang guru Madrasah Ibtidaiyah (MI) Swasta di Semarang, berbagi kisahnya. “Saya sudah mengajar hampir sepuluh tahun. Pengin juga sebenarnya ikut tes P3K. Tapi kan kena aturan guru swasta tidak bisa ikut. Sementara itu, guru honorer negeri sudah menikmati status P3K, mendapatkan tunjangan, dan gaji layak.”

Senada dengan Khaldzik, Luluk, seorang guru Raudhatul Athfal (RA) Swasta, menyampaikan aspirasinya dengan sederhana namun mendalam: “Kami bukan menuntut lebih, hanya meminta kesempatan yang sama.”

Menatap Ke Depan: Perlunya Keberanian Politik

Agus Mukhtar menekankan bahwa menyelesaikan masalah ini memerlukan keberanian politik dan kebijakan yang nyata dari pemerintah. “Tanpa itu, kesenjangan akan terus terjadi. Kuota khusus guru swasta perlu dipertimbangkan, mengingat peran dan kontribusi signifikan mereka di sektor pendidikan,” tegasnya.

Selain itu, transparansi dalam mekanisme seleksi mutlak diperlukan untuk mencegah diskriminasi administratif dan praktik rekayasa seperti jual-beli SK mengajar yang kerap dijadikan syarat. “Pengawasan publik perlu ditingkatkan agar regulasi yang ada benar-benar dilaksanakan di lapangan,” tandas Agus.

Panggung telah disiapkan, suara telah dikumandangkan. Kini, bola berada di pihak pemerintah. Apakah Indonesia akan terus membiarkan pilar-pilar pendidikannya bekerja dalam ketidakpastian? Ataukah akan hadir kebijakan progresif yang tidak hanya adil, tetapi juga menghargai setiap tetes keringat dan dedikasi para guru, tanpa memandang status “negeri” atau “swasta”? Jawabannya akan menentukan masa pendidikan yang lebih setara dan berkeadilan untuk semua.

tokopedia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

No More Posts Available.

No more pages to load.