Safari Politik Dedi Mulyadi ke Jakarta: Bantah Data Purbaya, Buktikan Dana Jabar Hanya Rp 2,6 T, Bukan Mengendap
News Airmadidi– Dalam sebuah langkah yang penuh dramatis, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi melakukan “safari politik” ke jantung ibu kota pada Rabu, 22 Oktober 2025. Tujuannya jelas dan berani: membongkar klaim Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang menyebut ada dana Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jabar mengendap di bank hingga Rp 4,17 triliun. Kedatangan Dedi bukan sekadar protes, melainkan sebuah pembuktian dengan data di hadapan institusi paling berwenang.
Perjalanan ini menjadi babak baru dalam ketegangan antara pemerintah pusat dan daerah, mengangkat pertanyaan krusial tentang akurasi data keuangan negara dan narasi publik yang menyertainya.
Dari Bandung ke Senayan: Konfrontasi dengan Data
Dedi Mulyadi tidak datang sendirian. Didampingi oleh sejumlah pejabat keuangan daerahnya, ia membawa segudang dokumen sebagai senjata. Titik pertama yang disambanginya adalah kantor Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Di sinilah, dalam audiensi dengan Mendagri Tito Karnavian, “perang data” itu mulai menemui titik terang.
Dalam pertemuan tertutup itu, Dedi dan timnya melakukan rekonsiliasi data—mencocokkan laporan keuangan Pemprov Jabar dengan data yang tercatat di sistem Kemendagri. Hasilnya, menurut Dedi, sangat mengejutkan sekaligus membenarkan posisinya.

Baca Juga: Timnas Indonesia Garansi Siap Hadapi Laga Uji Coba
“Data dari Kemendagri dan data dari Pemprov sama. Bahwa terhitung pada tanggal 17 (Oktober) itu ya angkanya sekitar Rp 2,6 triliun,” tegas Dedi usai pertemuan.
Angka Rp 2,6 triliun ini jauh berbeda dari angka Rp 4,17 triliun yang diungkapkan oleh Menkeu Purbaya. Selisih nearly Rp 1,5 triliun ini menjadi inti perdebatan. Dedi menegaskan bahwa data Kemendagri, yang menjadi acuan resmi pengawasan keuangan daerah, bersumber langsung dari laporan Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) Jabar. Artinya, klaim Kementerian Keuangan dipertanyakan validitasnya.
Bukan Dana Mengendap, Tapi Uang Kas yang Wajar
Perbedaan angka bukan satu-satunya hal yang dibantah Dedi. Esensi dari pernyataan Purbaya bahwa dana tersebut “mengendap” atau idle, juga ia tentang habis-habisan.
Dengan penjelasan yang gamblang, Dedi menerangkan bahwa dana Rp 2,6 triliun itu bukanlah uang mengendap, melainkan uang kas operasional Pemprov Jabar yang memang secara wajar disimpan di bank.
“Itu adalah uang kas Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang disimpan di Bank Jabar. Kan kas tidak bisa disimpan di brankas,” jelasnya logis.
Ia membantah keras bahwa dana sebesar itu dititipkan dalam bentuk deposito yang tidak produktif. Sebaliknya, ia menggambarkan dinamika keuangan daerah yang hidup dan fluktuatif.
“Angka di APBD ini kan fluktuatif. Misalnya gini, di bulan September misalnya angka Rp 3,8 triliun. Nah nanti bulan Oktober kan dibayarkan lagi untuk gaji pegawai. Kemudian bayar kegiatan-kegiatan pemerintah, bayar kontrak-kontrak kerja,” papar Dedi.
Logikanya sederhana: kas daerah berfungsi seperti kas sebuah perusahaan besar. Ada siklus penerimaan dan pengeluaran. Dana yang ada di rekening pada suatu titik waktu tertentu adalah dana yang sedang menunggu untuk dibelanjakan guna membiayai roda pemerintahan, dari gaji PNS hingga pembangunan infrastruktur. Menarik semua dana hingga habis adalah tindakan yang tidak rasional dan akan melumpuhkan operasional pemerintah.